Benteng Fort de Kock, Sisa Keangkuhan Belanda di Bukittinggi

Benteng Fort de Kock, Sisa Keangkuhan Belanda di Bukittinggi

Kalau membicarakan mengenai Bukittinggi, tentu tak lepas dari pesonanya sebagai kota terbesar kedua di provinsi Sumatera Barat. Sekedar informasi, kota kelahiran Bung Hatta ini pernah jadi ibukota negara pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Tak itu saja, Bukittinggi juga pernah jadi ibukota provinsi Sumatera dan provinsi Sumatera Tengah. Karena sudah lama jadi saksi sejarah, tak heran jika Benteng Fort de Kock bisa berdiri kokoh di sini.

Sebagai sebuah benteng bersejarah, memang ada banyak sekali bekas-bekas perjuangan masyarakat Bukittinggi dalam mengusir penjajah yang bisa anda lihat di Benteng Fort de Kock. Lokasinya sendiri ada di puncak bukit Jirek yang memang tak jauh dari Jam Gadang. Nama Fort de Kock pada benteng ini merujuk pada lokasi di mana dia berdiri yakni bukit Jirek.

Untuk bisa berkunjung ke Benteng Fort de Kock, anda hanya tinggal menuju kawasan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Dengan bangunan benteng ada di bukit sebelah kiri. Kedua lokasi ini dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya aalah jalan raya dalam kota Bukittinggi. Anda hanya perlu membayar retribusi sebesar lima ribu rupiah untuk bisa melihat indah dan kokohnya benteng sekaligus menyeberang jembatan dan menatap pemandangan alam nan indah.

Benteng Fort de Kock, Dari Militer Jadi Wisata

Oleh pemerintah Hindia Belanda, Benteng Fort de Kock adalah kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau saat Perang Paderi meletus tahun 1821-1837. Adalah Kapten Johan Heinrich Conrad Bauer yang membangun benteng ini di tahun 1826. Nama benteng didedikasikan Bauer kepada Hendrik Merkus Baron de Kock, Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda sekaligus Komandan Militer saat itu.

Dianggap sebagai lambang keangkuhan kolonial Belanda yang berhasil menduduki Sumatera Barat, Keberadaan benteng ini juga sebagai tanda perluasan kekuasaan mereka terhadap wilayah Bukittinggi, Agam dan Pasaman. Saat itu Belanda memanfaatkan konflik intern di mana terjadi pertikaian antara kaum adat yang masih memegang aturan lama dengan kaum Paderi yang berpegang pada syariat Islam dan dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Untuk mengalahkan kaum Paderi, Belanda yang membantu kaum adat mendapat izin mendirikan benteng di wilayah dataran tinggi Minangkabau seperti Benteng Fort de Kock di Bukittinggi dan Fort van der Capellen di Batusangkar. Hanya saja perjanjian itu malah merugikan kaum adat hingga berimbas pada keruntuhan Kerajaan Pagaruyung.

Kini secara fisik bangunan Benteng Fort de Kock sudah hampir tak ada. Yang tersisa hanyalah bangunan bak air dengan denah persegi empat berwarna putih-hijau dan areal bekas benteng yang dibatasi parit melingkar sedalam satu meter dan lebar tiga meter. Sisa-sisa peninggalan militer yang ada hanyalah delapan buah meriam besi yang dipasang di sekeliling areal bekas benteng. Dengan panjang antara 116-280 cm, salah satu meriam besi itu bertuliskan angka tahun 1813. Meskipun hanya sedikit yang tersisa, benteng ini seolah jadi saksi bisu betapa berpengaruhnya pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Indonesia kala itu.

Pada bagian depan benteng terdapat prasasti sebesar sepuluh meter yang ditandatangani oleh Walikota Bukittinggi, H.Djufri saat meresmikan Benteng Fort de Kock sebagai tempat wisata pada tanggal 15 Maret 2003. Sudah empat belas tahun menjadi lokasi wisata, anda akan merasa bahagia menikmati udara rindang dan sejuk di sekitar benteng. Sebelum diresmikan jadi tempat wisata, pemerintah daerah Bukittinggi sempat merenovasi bangunan bersejarah ini pada tahun 2002 silam.

**(Images from wikipedia.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *