Taman Panorama, Gerbang Tiga Tempat Wisata di Bukittinggi

Taman Panorama, Gerbang Tiga Tempat Wisata di Bukittinggi

Selain dikenal atas berbagai olahan kuliner yang sangat menggoda iman, kota Bukittinggi juga tersohor akan keindahan wisatanya. Bahkan saat musim liburan muncul, Bukittinggi akan menjelma seperti Jakarta yang begitu macet di mana-mana. Untung saja anda bisa kabur sejenak dari kemacetan itu dengan berkunjung ke beberapa tempat wisata yang dekat dari Jam Gadang. Dan gerbang lokasi itu adalah taman Panorama.

Disebut demikian, bukan hanya karena menawarkan pemandangan alam luar biasa, tapi juga lantaran taman wisata ini ada di jalan Panorama, Bukittinggi sana. Seperti yang sudah disebutkan tadi, anda bisa menikmati indahnya Ngarai Sianok, sensasi keangkeran Lobang Jepang dan menguji kesehatan kaki sambil refresing di Janjang Saribu. Sungguh sebuah pilihan tepat karena dari satu titik bisa mendapatkan tiga lokasi wisata utama di Sumatera Barat.

Hanya dipatok biaya sebesar delapan ribu per orang, tentu cukup lah murah karena anda bisa mendapatkan tiga obyek wisata sekaligus. Setelah puas menikmati tiga lokasi itu, anda bisa berkunjung ke pujasera yang menjual beragam makanan dan kuliner Minang di dalam Taman Wisaa Panorama. Tak hanya itu saja, anda juga bisa memilih oleh-oleh untuk keluarga yang ternyata bisa ditawar.

Tangga, Lembah dan Goa di Taman Panorama

Ketika anda memasuki gerbang utama Taman Wisata Panorama, akan disambut dengan indahnya hamparan lembah Ngarai Sianok. Berbentuk memanjang dan berkelok sebagai penanda garis batas kota dari selatan Koto Gadang hingga Anam Suku, ngarai menakjubkan itu berakhir di kecamatan Palupuh. Punya panjang 15 kilometer, anda bisa menikmatinya dengan kano yang membutuhkan waktu 3,5 jam. Untuk memanjakan mata, di sepanjang perjalanan anda bisa melihat flora dan fauna langka seperti bunga Rafflesia hingga siamang dan tapir.

Saat anda menatap ke Ngarai Sianok, akan ada gunung Marapi di sisi kiri dan gunung Singgalang di sisi kanan. Kalau sudah puas menatap indahnya lembah, tak ada salahnya anda mencoba menguji kekuatan otot dengan menaiki Janjang Saribu yang juga bisa didatangi di Taman Wisata Panorama ini. Dari namanya saja sudah berarti seribu tangga, meskipun faktanya tidak sebanyak itu. Perlintasan yang dulunya terbuat dari bambu ini sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Konon jalan yang kini mirip dengan Tembok Besar China itu sebagai jalan pintas dari Koto Gadang ke Bukittinggi.

Namun jika anda merasa sudah lelah duluan sebelum menaiki tangga Janjang Saribu, bisa menikmati nuansa mencekam di terowongan Lobang Jepang. Dibangun pada masa pemerintahan Jepang, bunker yang ada sekitar 60 meter di bawah Bukittinggi ini terdiri dari banyak ruangan-ruangan khusus. Anda hanya perlu mencari mulut goa yang masih ada di kawasan Taman Wisata Panorama, dan akan dituntun seorang pemandu wisata. Berbeda dengan dulu, nuansa di dalam Lobang Jepang sekarang jauh lebih modern dan hilang kesan mencekam karena sudah dipenuhi dengan lampu listrik.

Seringkali menjadi pilihan para wisatawan, Taman Wisata Panorama, memang layak dikunjungi saat anda ke Bukittinggi. Bukan hanya menikmati Jam Gadang yang tersohor itu, ketiga lokasi wisata yang ditawarkan taman ini seolah membuktikan kalau ibukota Indonesia di era Pemerintahan Darurat Republik Indonesia itu begitu kaya akan pemandangan wisata. Bukan hanya terbentuk secara alami oleh gerakan bumi, tapi bukti-bukti peninggalan sejarah juga jadi daya tarik. Jadi, apakah anda sudah berencana mau ke Bukittinggi?

** (images from adventurose.com)

Janjang Saribu, Pesona Great Wall di Koto Gadang

Janjang Saribu, Pesona Great Wall di Koto Gadang

Kalau bicara mengenai wisata, Sumatera Barat, tentunya tak akan lepas dari Ngarai Sianok. Terbentang dari nagari Koto Gadang, ada banyak sekali obyek wisata alam yang bsia anda nikmati. Tentunya pemandangan lembah dengan bukit berdinding terjal dan kemiringan mencapai 90 derajat yang membentang di tubuh gunung Singgalang membuat sangat mempesona. Selain beberapa aliran sungai yang membelah lembah, salah satu lokasi favorit adalah Janjang Saribu.

Dalam bahasa Minang sendiri, Janjang Saribu berarti seribu anak tangga. Disebut demikian, karena ada banyak sekali jumlah tangga di sini meskipun tidak mencapai jumlah seribu buah. Jadi bisa dibilang kalau lokasi ini adalah deretan ratusan anak tangga di tebing Ngarai Sianok. Tak heran kalau akhirnya disebut sebagai miniatur Tembok Besar China alias Great Wall of China.

Untuk bisa menuju Janjang Saribu dari dasar Ngarai Sianok, anda bisa menuju Taman Panorama terlebih dahulu. Nanti akan ketemu pintu masuk Lobang Jepang dan gerbang janjang Koto Gadang. Kendati tak ada tarif resmi masuk ke tempat wisata yang sangat melatih otot kaki anda ini, pengunjung harus membayar dua ribu rupiah per orang kepada warga yang mengaku sebagai pemilik tanah.

Janjang Saribu Sebagai Jalan Pintas ke Bukittinggi

Memiliki total panjang 780 meter, sebetulnya Janjang Saribu dulunya hanyalah tempat yang terlupakan. Seringkali dianggap remeh orang, pemugaran pun dilakukan secara masif sehingga membuat ratusan anak tangga ini tampil makin cantik dengan lebar dua meter. Butuh waktu total 30 menit untuk berjalan dari ujung ke ujung, anda harus hati-hati karena di sepanjang lokasi ini sedikit curam.

Selain ratusan anak tangga, daya tarik Janjang Saribu adalah karena adanya tembok beton yang bentuknya memang menyerupai Tembok Besar China. Dan di pertengahan jalan, anda akan menemukan jembatan gantung yang sering disebut Jembatan Merah. Sejatinya, sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, perlintasan ini sudah ada dan diberi nama Janjang Batuang. Disebut demikian karena terbuat dari tanah yang ditopang oleh bambu. Sekedar informasi, bambu dalam bahasa Minang adalah batuang.

Sebelum dipugar seperti saat ini, Janjang Saribu digunakan warga setempat sebagai jalan pintas dari Koto Gadang ke Bukittinggi saat hendak mengambil pasir di sungai. Setelah dilirik jadi potensi wisata lokal, pemerintah Kabupaten Agam pun melakukan renovasi dan meresmikannya bersama Menkominfo Tifatul Sembiring pada tanggal 27 Januari 2013 silam. Tentu saja membayangkan masyarakat zaman dulu harus membawa pasir dari lembah sungai Koto Gadang ke Bukittinggi melewati tangga bambu, sangatlah sebuah perjuangan yang tidak mudah.

Saat anda sudah berada di puncak perlintasan ini, anda akan menemukan sebuah desa bernama Bukik Apik atau Bukit Apit. Di mana memang masyarakat Bukik Apik-lah yang memanfaatkan Janjang Saribu dalam kehidupan keseharian mereka. Saat berjalan di ratusan anak tangga ini, biarkan mata anda menikmati indahnya kenampakan alam Ngarai Sianok. Hanya saja di beberapa titik perlintasan ini terdapat vandalisme yakni coretan-coretan orang tak bertanggung jawab yang membuat keindahannya tercoreng.

Kini perlahan tapi pasti, pemugaran dan semakin bertambahnya fasilitas dilakukan untuk membuat Janjang Saribu populer di kalangan wisatawan. Semoga saja pesona Tembok Besar di Koto Gadang ini setidaknya bisa bersaing dengan Ngarai Sianok, Lobang Jepang, Benteng Fort de Kock, Kebun Binatang Bukitttinggi atau The Great Wall of China sendiri. Tetap semangat!

**(images from sidomi.com)

Benteng Fort de Kock, Sisa Keangkuhan Belanda di Bukittinggi

Benteng Fort de Kock, Sisa Keangkuhan Belanda di Bukittinggi

Kalau membicarakan mengenai Bukittinggi, tentu tak lepas dari pesonanya sebagai kota terbesar kedua di provinsi Sumatera Barat. Sekedar informasi, kota kelahiran Bung Hatta ini pernah jadi ibukota negara pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Tak itu saja, Bukittinggi juga pernah jadi ibukota provinsi Sumatera dan provinsi Sumatera Tengah. Karena sudah lama jadi saksi sejarah, tak heran jika Benteng Fort de Kock bisa berdiri kokoh di sini.

Sebagai sebuah benteng bersejarah, memang ada banyak sekali bekas-bekas perjuangan masyarakat Bukittinggi dalam mengusir penjajah yang bisa anda lihat di Benteng Fort de Kock. Lokasinya sendiri ada di puncak bukit Jirek yang memang tak jauh dari Jam Gadang. Nama Fort de Kock pada benteng ini merujuk pada lokasi di mana dia berdiri yakni bukit Jirek.

Untuk bisa berkunjung ke Benteng Fort de Kock, anda hanya tinggal menuju kawasan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Dengan bangunan benteng ada di bukit sebelah kiri. Kedua lokasi ini dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya aalah jalan raya dalam kota Bukittinggi. Anda hanya perlu membayar retribusi sebesar lima ribu rupiah untuk bisa melihat indah dan kokohnya benteng sekaligus menyeberang jembatan dan menatap pemandangan alam nan indah.

Benteng Fort de Kock, Dari Militer Jadi Wisata

Oleh pemerintah Hindia Belanda, Benteng Fort de Kock adalah kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau saat Perang Paderi meletus tahun 1821-1837. Adalah Kapten Johan Heinrich Conrad Bauer yang membangun benteng ini di tahun 1826. Nama benteng didedikasikan Bauer kepada Hendrik Merkus Baron de Kock, Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda sekaligus Komandan Militer saat itu.

Dianggap sebagai lambang keangkuhan kolonial Belanda yang berhasil menduduki Sumatera Barat, Keberadaan benteng ini juga sebagai tanda perluasan kekuasaan mereka terhadap wilayah Bukittinggi, Agam dan Pasaman. Saat itu Belanda memanfaatkan konflik intern di mana terjadi pertikaian antara kaum adat yang masih memegang aturan lama dengan kaum Paderi yang berpegang pada syariat Islam dan dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Untuk mengalahkan kaum Paderi, Belanda yang membantu kaum adat mendapat izin mendirikan benteng di wilayah dataran tinggi Minangkabau seperti Benteng Fort de Kock di Bukittinggi dan Fort van der Capellen di Batusangkar. Hanya saja perjanjian itu malah merugikan kaum adat hingga berimbas pada keruntuhan Kerajaan Pagaruyung.

Kini secara fisik bangunan Benteng Fort de Kock sudah hampir tak ada. Yang tersisa hanyalah bangunan bak air dengan denah persegi empat berwarna putih-hijau dan areal bekas benteng yang dibatasi parit melingkar sedalam satu meter dan lebar tiga meter. Sisa-sisa peninggalan militer yang ada hanyalah delapan buah meriam besi yang dipasang di sekeliling areal bekas benteng. Dengan panjang antara 116-280 cm, salah satu meriam besi itu bertuliskan angka tahun 1813. Meskipun hanya sedikit yang tersisa, benteng ini seolah jadi saksi bisu betapa berpengaruhnya pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Indonesia kala itu.

Pada bagian depan benteng terdapat prasasti sebesar sepuluh meter yang ditandatangani oleh Walikota Bukittinggi, H.Djufri saat meresmikan Benteng Fort de Kock sebagai tempat wisata pada tanggal 15 Maret 2003. Sudah empat belas tahun menjadi lokasi wisata, anda akan merasa bahagia menikmati udara rindang dan sejuk di sekitar benteng. Sebelum diresmikan jadi tempat wisata, pemerintah daerah Bukittinggi sempat merenovasi bangunan bersejarah ini pada tahun 2002 silam.

**(Images from wikipedia.com)

Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan, Kebun Binatang Tertua di Indonesia

Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan, Kebun Binatang Tertua di Indonesia

Sebagai kota terbesar kedua di provinsi Sumatera Barat, Bukittinggi memang memiliki pesona yang tak bisa dihindarkan. Anda bisa menemukan gugusan lembah yang indah yakni Ngarai Sianok, terowongan sejarah Lobang Jepang dan tentunya menara yang ikonik, Jam Gadang. Tak heran kalau banyak sekali wisatawan berkunjung ke Bukittinggi. Namun jika anda ingin melihat fauna, maka Kebun Binatang Bukittinggi adalah pilihan paling tepat.

Memiliki nama asli Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan, Kebun Binatang Bukittinggi terletak di atas bukit Cubadak Bungkuak. Dianggap sebagai salah satu lokasi wisata berisikan aneka hewan tertua di Indonesia, koleksi fauna di sini justru sangat banyak dan dianggap terlengkap di Sumatera. Saat berkunjung ke sini, anda akan disuguhi pemandangan bukit dengan bentangan alam luar biasa mulai dari gunung Singgalang, Sago, Marapi dan tentunya Ngarai Sianok.

Lantaran lokasinya di pusat kota, jarak yang tak jauh dari Jam Gadang membuat Kebun Binatang Bukittinggi sangat mudah diakses. Dengan Harga Tiket Masuk sangat murah yakni termahal 10 ribu rupiah untuk orang dewasa, kualitas hewan koleksi sangatlah terawat dan terjaga. Anda bisa menemukan harimau, gajah, zebra, rusa, kijang, berbagai jenis ular dan burung, buaya dan monyet. Yang istimewa lagi, Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan ini memiliki museum zoologi sebagai tempak koleksi binatang langka yang sudah punah dan istana aquarium sebagai tempat koleksi ikan hias dalam dan luar negeri.

Sejarah Kebun Binatang Bukittinggi Sejak Zaman Belanda

Disebut sebagai salah satu Kebun Binatang tertua di Indonesia, lokasi ini rupanya sudah dimulai pendiriannya sekitar tahun 1900-an atas ide seorang Controleur pemerintah Hindia Belanda yang bertugas di Fort de Kock, bernama Gravenzanden. Gravenzanden sangat terkesan dengan keindahan panorama bukit Malambuang (kini Cubadak Bungkuak) yang ada tepat di seberang bukit Jirek, lokasi Benteng Fort de Kock berada. Sehingga di awal berdirinya, memang bertujuan sebagai taman bunga.

Hingga akhirnya pada tahun 1929, mulai dikembangkan sebagai Kebun Binatang Bukittinggi atau punya nama Belanda sebagai Fort de Kocksche Dieren Park. Demi menambah koleksi, pihak pengelola bertukarhewan dengan Soerabaiasche Planten-en Dierentuin (Kebun Binatang Surabaya) sehingga mereka mendapat spesies fauna Indonesia Timur pada tahun 1933 silam.

Ketika masa kependudukan Jepang menjajah Indonesia, tentara Dai Nippon rupanya tak mempedulikan Kebun Binatang Bukittinggi ini. Sehingga sebagian besar hewan tidak terawat baik dan mati karena terlantar. Bahkan beberapa fasilitas yang ada sempat dialihfungsikan untuk memenuhi kebutuhan militer tentara Jepang kala itu. Semenjak Indonesia merdeka, lokasi ini sempat berubah menjadi Taman Puti Bungsu dan akhirnya sejak tahun 1995 resmi disebut sebagai Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan.

Jika anda berkunjung ke Kebun Binatang Bukittinggi, jangan lupa juga melihat keindahan Rumah Adat Baanjuang (Rumah Gadang) bergonjong Gajah Maharam. Memiliki sembilan ruangan dengan anjungan di bagian kanan dan kiri, bangunan ini dibangun pada tahun 1935 lalu. Anda bisa menikmati dan mempelajari kebudayaan tradisional masyarakat Minangkabau di rumah adat ini. Di dalam Rumah Adat Baanjuang yang beratap gonjong Gajah Maharam ini dipajang beraneka koleksi peninggalan budaya dan sejarah. Ada perhiasan dan alat kesenian khas Minang yang memukau. Adanya Jembatan Limpapeh yang menghubungkan tempat ini dengan Benteng Fort de Kock memang mampu menggenjot jumlah wisatawan yang datang ke kedua lokasi favorit turis itu.

**(Images from wisatasumbar.net)

Menelusuri Sejarah Proklamator di Museum Bung Hatta

Menelusuri Sejarah Proklamator di Museum Bung Hatta

Kemerdekaan Indonesia tentu tak lepas dari sosok Mohammad Hatta. Pria yang terlahir dengan nama Mohammad Athar ini adalah Wakil Presiden pertama Indonesia yang memiliki peranan penting pada kemerdekaan negara ini. Tak heran kalau Hatta yang mundur dari jabatan Wapres di tahun 1956 ini adalah salah satu Proklamator yang kisah hidupnya jadi inspirasi. Tak heran jika rumah masa kecilnya di Bukittinggi, dijadikan Museum Bung Hatta.

Hatta yang meninggal di usia 77 tahun ini memang dilahirkan tahun 1902 di Fort de Kock, kota yang akhirnya berubah jadi Bukittinggi. Sebagai pemuda Minang, Hatta menghabiskan masa kecilnya di sebuah rumah sederhana yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta no 37, Bukittinggi hingga berusia 11 tahun dan akhirnya menjadi Museum Bung Hatta. Sumbangsihnya yang besar pada sejarah bangsa Indonesia memang membuat Hatta begitu dikagumi dan membanggakan publik Sumatera Barat.

Diketahui jika Hatta kecil tinggal di rumah kelahirannya inibersama ibu, kakek, nenek dan pamannya. Lantaran terletak di pusat kota Bukittinggi, keberadaan Museum Bung Hatta ini sangat mudah untuk ditemukan. Sekilas melihatnya, bangunan rumah dua lantai ini tampak cukup asri yang sebagian besar terbuat dari bilah-bilah papan kayu. Bahkan ada beberapa dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu sehingga seolah menelusuri lorong sejarah ke masa lalu.

Museum Bung Hatta, Dibangun Ulang Untuk Sang Proklamator

Dari informasi yang ada, rumah masa kecil Bung Hatta ini didirikan sekitar tahun 1860-an. Struktur kayu yang ada digunakan untuk bangunan utama, pavilion, lumbung padi, dapur, kandang kuda, hingga kolam ikan. Untuk bagian utama rumah, berfungsi menerima tamu, ruang makan keluarga dan kamar ibu, paman serta kakek Bung Hatta. Pavilion adalah kamar tidur Hatta kecil. Dengan bangunan asli sudah runtuh di tahun 1960-an, Yayasan Pendidikan Bung Hatta pun membangun ulang menjadi Museum Bung Hatta.

Pembangunan ulang rumah ini dimulai pada 15 Januari 1995 dan diresmikan pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta sekaligus 50 tahun Indonesia Merdeka. Museum Bung Hatta dibangun sangat mirip dengan bentuk rumah asli sesuai dengan berbagai dokumentasi karena Sang Proklamator telah meninggal 15 tahun sebelum bangunan ini diresmikan.

Semakin menambah kesan sejarah, sebagian besar perabotan yang ada di rumah adalah asli merupakan peninggalan masa kecil Bung Hatta yang didapat dari keluarga dan kerabat. Dengan tata letak perabotan yang masih dipertahankan seperti dulu, saat berkunjung ke Museum Bung Hatta memang seolah berada di masa lalu. Bahkan anda bisa membayangkan Hatta kecil tidur di ranjang atau berada di dapur dan berlarian sepanjang rumah.

Mayoritas perabotan kayu di dalam Museum Bung Hatta terbuat dari kayu surian, sejenis kayu jati di Jawa. Hanya bagian tikar di dalam bangunan yang sudah diganti baru kendati jenis dan bentuknya masih mirip dengan aslinya. Anda juga akan menemukan sumur lama yang sengaja ditutup dengan papan. Di mana sumur ini dulu berada di belakang rumah, di dekat dapur. Selain ruangan-ruangan dan perabotan masa lalu, anda juga bisa menemukan Bugi atau sejenis bendi (delman) di museum ini. Bugi yang ada di bagian belakang rumah ini dulu sering dipakai Hatta kecil untuk sekolah. Kalau tidak naik Bugi, pria yang juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia ini memilih naik sepeda.

**(Images from minangtourism.com)

Lobang Jepang, Terowongan Sejarah di Bawah Kota Bukittinggi

Lobang Jepang, Terowongan Sejarah di Bawah Kota Bukittinggi

Meskipun bukan merupakan ibukota provinsi dan termasuk kota kecil, keberadaan Bukittinggi sangatlah penting bagi Sumatera Barat. Memiliki banyak sekali sektor wisata yang diandalkan, Bukittinggi mampu menggerakkan roda ekonomi sangat cepat hanya dengan wisatanya. Dan di bawah hingar bingar kota, Bukittinggi menyimpang terowongan sejarah yang lazim dikenal sebagai Lobang Jepang.

Bersemayam sekitar 60 meter di bawah permukaan kota Bukittinggi, terowongan yang dibangun oleh pemerintah Jepang itu memiliki panjang enam kilometer. Dibuka untuk umum sebagai lokasi wisata, hanya total panjang 1,5 kilometer Lobang Jepangyang bisa dinikmati dengan alasan oksigen dan kemungkinan tersasar. Untuk bisa masuk ke tempat yang jadi saksi sejarah ini anda bisa menuju Taman Panorama dan di jalan raya sebelum Ngarai Sianok.

Adanya Lobang Jepang di bawah Bukittinggi, disebut salah satu pemandu wisata seperti dilansir Kompas, adalah alasan tak ada bangunan tinggi di permukaan. Satu-satunya bangunan tinggi di Bukittinggi hanyalah Jam Gadang karena ditakutkan fondasi terlalu tinggi akan bisa ambruk. Namun lepas dari penampilannya yang menarik hati, bunker ini memiliki cerita sejarah yang suram.

Sejarah Suram Lobang Jepang

Sebelum jadi obyek wisata sejarah favorit di Bukittinggi pada tahun 1984, Lobang Jepangadalah terowongan perlindungan yang dibangun tentara kependudukan Jepang sekitar tahun 1942. Pembangunan terowongan yang konon bisa mengarah sampai Jam Gadang ini sangat misterius. Generasi yang hidup di tahun 1950-an tak ada yang tahu mengenai pembangunannya. Sejarah hanya mencatat kalau bunker ini dibangun selama tiga tahun dan dilakukan di malam hari oleh ribuan pekerja paksa (Romusha) yang rata-rata berasal dari Jawa.

Dalam pembangunannya dulu, tujuan utama bunker ini adalah sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang. Dengan jalur hanya selebar dua meter, diyakini ada 21 lorong dengan ruangan-ruangan khusus terdapat di dalam Lobang Jepangseperti ruang pengintaian, penyergapan, gudang senjata, penjara, kamar komando hingga dapur pembantaian.

Hanya membutuhkan waktu paling lama 20 menit untuk menyelusuri seluruh Lobang Jepang hingga bagian ujung. Anda akan melewati dapur pembantaian di sebelah penjara yang punya kesan menyeramkan.Dapur pembantaian ini diyakini sebagai tempat memotong-motong tahanan yang sudah tewas sebelum dibuang ke lubang air supaya jasadnya sulit ditemukan. Penjara yang sudah ditutup juga pernah berfungsi menahan para perempuan pribumi untuk dijadikan budak seks Jepang. Tak diberi makan berhari-hari, para perempuan malang itu banyak yang tewas sehingga aura mistis makin kental.

Untuk bisa masuk ke dalam Lobang Jepang, anda harus melewati tangga sedalam 64 meter. Dibuat atas instruksi Letjen Moritake Tanabe selaku Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang, terowongan ini sangatlah kokoh. Diyakini mampu menahan letusan bom seberat 500 kg, kekuatannya pun terbukti saat gempa mengguncang Sumatera  Barat di tahun 2009, struktur terowongan sama sekali tidak rusak.

Ketika ditemukan pertama kali pada tahun 1950, pintu Lobang Jepang hanya 20 cm dengan kedalaman 64 meter. Setelah dikelola dan jadi tempat wisata, bagian mulut terowongan dikeruk agar semakin tinggi. Bahkan kini  bentuk lobang sudah tak lagi asli karena bagian dinding yang telah disemen, bagian atas ditutup batu konblok hingga adanya pencahayaan lampu listrik. Belum lagi tindakan vandalisme seperti coretan di dinding oleh pengunjung tak bertanggung jawab semakin membuat bunker bersejarah ini kehilangan kesan suram.

**(Images from from Dream.co.id)

Menikmati Uniknya Danau Bermuka Dua, Tarusan Kamang

Menikmati Uniknya Danau Bermuka Dua, Tarusan Kamang

Kawasan Bukittinggi dan sekitarnya sepertinya menyimpan banyak sekali keindahan bumi yang begitu eksotis. Berbagai panorama alam yang ditawarkan seolah membawa siapapun meminjakkan kaki di kepingan surga. Selain keindahan Ngarai Sianok yang tersohor itu, ada sebuah kawasan wisata dengan fenoma ajaib di ranah Buya Hamka ini. Tempat itu adalah danau Tarusan Kamang.

Dibandingkan dengan danau Maninjau, Tarusan Kamang memang bisa dibilang masih kalah pamor. Namun danau yang berlokasi di Jorong Babukek, nagari Kamang, kecamatan Kamang Magek, kabupaten Agam di Sumatera Barat ini menawarkan pemandangan spektakuler. Di maan danau ini dijuluki bermuka dua karena punya keunikan permukaan air yang kadang muncul, kadang menghilang. Tak heran jika daya tariknya yang misterius begitu membuat wisatawan penasaran.

Untuk bisa berkunjung ke danau Tarusan Kamang, anda harus menempuh jarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Bukittinggi. Hanya membutuhkan perjalanan 20 hingga 30 menit menggunakan kendaraan bermotor. Lantaran belum dikelola secara resmi oleh pemerintah daerah hingga di tahun 2016, pengunjung hanya perlu membayar biaya parkir kendaraan saja.  Dikenalnya danau bermuka dua ini tak lain karena jepretan seniman fotografer asal Bukittinggi, Erison J Kambari tahun 2012 yang mengabadikan fenomena saat permukaan danau penuh berisi air dan tidak.

Misteri Pasang Surut Air Danau Tarusan Kamang

Rasa penasaran pengunjung memang mayoritas disebabkan oleh danau yang airnya tiba-tiba penuh terisi dan bisa hilang secara tiba-tiba. Banyak ahli geologi yang diundang untuk meneliti Tarusan Kamang. Hingga akhirnya Profesor Handang Bachtiar melakukan penelitian dan menemukan fakta jika danau ini terletak tepat di zona patahan Sumatera bagian timur. Masuk dalam tipe danau karst, danau ini memang terbentuk karena pengikisan batu kapur oleh air. Menghilangnya air danau ke dalam perut bumi dan kembali muncul di celah padang rumput yang hijau memang belum bisa diprediksi dengan tepat.

Namun sebagai danau karst, air tanah yang naik lewat lorong-lorong di bawah bukit batu kapur memang langsung menyembur sehingga menutup padang rumput dan menjadi danau.  Dan saat air sungai bawah tanah turun, air yang ada di permukan Tarusan Kamang akan tersedot mengering. Berada di kaki Bukit Barisan, batuan kapur yang ada di danau ini diprediksi sudah berusia ratusan abad dan memiliki kandungan mineral COCA 2. Diperkirakan kalau danau purba ini sudah ada sejak 70 ribu tahun silam. Sementara itu, perbukitan karst di danau ini diprediksi sudah ada sejak 400-300 juta tahun lalu sehingga pepohonan yang ada, tumbuh sangat subur.

Dari pengakuan warga setempat, danau Tarusan Kamang bisa mengering dan menjadi padang rumput selama lima bulan hingga dua tahun. Namun saat danau terisi air, akan terdengar suara mirip air mendidih. Bukan hanya fenomena dua muka yang membuat danau ini menarik, anda juga akan terpesona dengan pemandangan alam yang luar biasa indah. Ada tambak ikan milik warga, pengembala kerbau hingga rakit-rakit kecil sebagai sarana transportasi masyarakat lokal Agam.

Perlahan tapi pasti, pesona danau bermuka dua inipun mulai makin populer. Berterima kasih kepada generasi milenial dan Z yang sering mengunggah foto perbedaan danau Tarusan Kamang di media sosial, sehingga makin membuat banyak orang penasaran. Hanya saja saat anda datang ke tempat ini, usahakan sebisa mungkin untuk menjaga kebersihaan agar tetap terlihat hijau dan indah.

** (Images from wisatasumbar.net)

Pesona Ngarai Sianok, Indahnya Lembah Pahatan Tuhan di Bukittinggi

Pesona Ngarai Sianok, Indahnya Lembah Pahatan Tuhan di Bukittinggi

Sudah sejak lama dikenal jika pulau Sumatera adalah dataran dengan keindahan alam yang mempesona. Terbentang dari ujung pulau Weh hingga Kalianda, hampir seluruh provinsi Sumatera menampilkan panorama luar biasa. Jajaran Bukit Barisan dengan titik tertingginya gunung Kerinci adalah salah satu yang membuat Sumatera sangat fantastis. Dan dari hamparan pegunungan, perbukitan dan lembah, Ngarai Sianok muncul dengan sejuta pesonanya.

Terletak di perbatasan kota Bukittinggi, tepatnya di kecamatan IV Koto, kabupaten Agam, lembah ini memanjang dan berkelok sebagai garis batas kota mulai selatan nagari Koto Gadang sampai nagari Sianok Anam Suku dan berakhir di kecamatan Palupuh. Ngarai Sianok membentang sepanjang 15 kilometer dengan lebar sekitar 200 meter dan jurang sedalam 100 meter.

Menjadi lembah indah sekaligus bagian gunung Singgalang, tak heran kalau Ngarai Sianok adalah salah satu ikon wisata Bukittinggi dan Sumatera Barat pada umumnya. Dialiri Batang Sianok yang berarti sungai jernih, akhirnya lembah alias ngarai ini dinamakan Ngarai Sianok. Anda bisa mencoba mengarungi lembah ini dengan kano atau kayak melalui organisasi olahraga air Qurays. Dibutuhkan waktu 3,5 jam untuk melintasi rute dari desa Lambah hingga desa Sitingkai Batang Palupuh.

Asal Usul Lembah Indah Ngarai Sianok

Memiliki kenampakan alam yang penuh pesona, rupanya Ngarai Sianok menyimpan potensi geologi yang mencekam. Sekedar informasi, ngarai ini adalah bagian dari patahan yang memisahkan pulau Sumatera menjadi dua bagian memanjang yang disebut patahan Semangko dari Aceh hingga teluk Semangka di Lampung. Patahan permukaan bumi ini membentuk dinding yang curam hingga tegak lurus dan hamparan lembah hijau luar biasa yang disebut pegunungan Bukit Barisan. Proses terbentuknya ini merupakan hasil dari gerakan penurunan kulit bumi (Sinklinal).

Tak heran kalau akhirnya Ngarai Sianok merupakan wujud paling nyata adanya aktivitas pergerakan lempengan bumi (tektonik) di pulau Sumatera. Diyakini kalau setiap gempa besar yang melanda Sumatera Barat, maka akan memberikan pengaruh pada ngarai indah ini. Pada masa pemerintah kolonial Belanda, lembah ini dikenal dengan nama Kerbau Sanget karena dulu ada banyak kerbau liar hidup bebas.

Lantaran masih berupa penampakan alam yang sangat alami, anda akan menemukan berbagai flora dan fauna langka di sepanjang tepian Ngarai Sianok. Beberapa tumbuhan seperti Rafflesia dan obat-obatan bisa terlihat selain hewan-hewan yang dilindungi seperti monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul hingga tapir. Untuk itu jika anda punya waktu menelusuri keindahan lembah luar biasa ini, akan menganggapnya seperti surga pulau Sumatera yang dihuni banyak makhluk istimewa dan terlindungi.

 

Kalau anda menikmati Ngarai Sianok dari Taman Panorama yang hanya berjarak 1 km dari pusat kota Bukittinggi, maka akan tampak benar-benar istimewa. Waktu kunjungan terfavorit adalah saat matahari terbenam dan tenggelam yang memang menampilkan keindahan menakjubkan di mana matahari muncul dan hilang dari celah-celah lereng ngarai yang sangat menyilaukan.

Lepas dari keindahannya yang begitu luar biasa, banyak warga setempat yang meyakini kalau Ngarai Sianok juga menyimpan aura mistis. Hal itu tak lain karena keberadaan Lobang Jepang di dekatnya sebagai lokasi penyiksaan. Warga setempat mengaku sering mendengar jeritan minta tolong hingga penampakan orang tanpa kepala. Beberapa turis yang mendatangi ngarai juga mengaku sering melihat sosok hantu kuntilanak hingga pocong. Meskipun belum terbukti kebenarannya, lokasi wisata ini wajib anda kunjungi jika ke Bukittinggi.

Jam Gadang, Ikon Wisata Kebanggaan Bukittinggi

Jam Gadang, Ikon Wisata Kebanggaan Bukittinggi

Indonesia memiliki banyak sekali tujuan wisata populer. Ada yang menawarkan hamparan pasir putih dan air laut biru yang luar biasa indah. Ada pula yang menawarkan gunung-gunung tinggi menjulang dengan kenampakan alam di luar imajinasi manusia. Namun jika anda ingin berkunjung ke tempat yang memiliki bangunan ikonik, maka Jam Gadang yang ada di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat adalah pilihan sangat tepat.

Berdiri di atas tanah seluas 52 meter persegi, menara jam kebanggaan masyarakat Bukittinggi ini punya tinggi mencapai 26 meter. Karena sangat besar, tak heran jika akhirnya disebut sebagai Jam Gadang. Dalam bahasa Minang, kata gadang sendiri memang bermakna besar. Keempat bagian sisi dari menara ini memiliki diameter 80 cm dan didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda. Karena memiliki jam di seluruh sisinya, anda bisa melihat waktu yang ditunjukkan dari arah manapun.

Untuk bisa menikmati indahnya Jam Gadang, anda harus menuju provinsi Sumatera Barat dulu. Jika menggunakan jalur udara, maka bisa mendarat di Bandara Internasional Minangkabau lalu menggunakan taksi atau mobil travel untuk mencapai lokasi. Jika langsung menggunakan jalur darat, anda bisa mengakses Bukittinggi entah dari Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu bahkan pulau Jawa.

Cerita Berdirinya Jam Gadang

Sejarah mencatat jika Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926. Pembangunannya sendiri merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker yang saat itu menjabat sebagai Contoleur Fort de Kock di masa pemerintahan Hindia Belanda. Menghabiskan biaya 3.000 gulden (sekitar Rp 22,6 juta saat ini), anggarannya kala itu bisa disebut sangat fantastis. Sehingga pembangunan monumen yang jadi titik nol Bukittinggi ini langsung jadi pusat perhatian.

Dengan proses peletakkan batu pertama oleh putra sulung Maker yang masih berusia enam tahun, Yazid Abidin Rajo Mangkuto dipilih sebagai arsitektur Jam Gadang. Yang istimewa, monumen ini dibangun tanpa menggunakan besi penyangga dan adukan semen. Di mana campurannya hanyalah kapur, putih telur dan pasir putih. Di awal berdirinya, bagian atap jam ini berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur. Lalu saat masa kependudukan Jepang, atapnya diubah menjadi bentuk pagoda. Dan saat Indonesia merdeka di tahun 1945, atap menaranya langsung diganti berbentuk gonjong atau atap rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Bukan hanya bahan bangunannya yang istimewa, keempat buah jam di seluruh sisi Jam Gadang juga punya cerita tersendiri. Di mana keempat jam itu didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Keseluruhan jam itu digerakkan secara mekanik oleh mesin langka khusus menara jam yang hanya dibuat dua unit di dunia.Di mana mesin yang satunya digunakan oleh Big Ben, menara jam raksasa kebanggaan masyarakat London, Inggris.

Sistem yang bekerja pada mesin Jam Gadang ini beroperasi secara mekanik melalui dua bandul besar di lantai ketiga yang saling menyeimbangkan satu sama lainnya. Yang hebat, sistem ini mampu membuat jam terus berdetak selama bertahun-tahun lamanya tanpa sumber energi.

Seluruh angka pada jam dibuat dengan sistem penomoran Romawi. Namun jika anda memperhatikan, angka yang menunjukkan pukul empat ditulis dengan empat huruf I yakni IIII bukannya IV yang merupakan lambang angka empat Romawi.Jika anda memang memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Bukittinggi, jangan lupa datang ke Jam Gadang ini.

**(images from lihat.co.id)