Kisah Pilu Dibalik Loebang Mbah Soero

Kisah Pilu Dibalik Loebang Mbah Soero

Loebang Mbah Soero merupakan objek wisata bersejarah yang ada di Sumatera Barat tepatnya di Jalan Muh. Yazid, Sawahlunto. Nama Mbah Soero sendiri merupakan sosok mandor penjaga tambang yang disegani dan dituakan oleh para pekerja lainnya.

Ya, dulunya, Loebang Mbah Soero adalah kawasan pertambangan batu bara yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda. Karena lubang ini memiliki kandungan batubara dan emas hitam yang berkualitas, maka Belanda pun memerintahkan ratusan pekerja Rodi dari Medan, Sulawesi, hingga Jawa, untuk menggali lubang tambang tersebut.

Cerita dibalik Loebang Mbah Soero

Yang membuat miris adalah, para buruh ini dipaksa untuk bekerja siang dan malang dengan kondisi kaki dan tangan di rantai serta makanan yang sangat sedikit. Konon, banyak buruh yang mati akibat siksaan cambuk yang bertubi-tubi. Banyak kisah-kisah mengerikan yang kerap diceritakan oleh warga setempat mengenai ‘orang rantai’ ini.

Di tahun 1900, produksi batubara mengalami peningkatan. Artinya, para pekerja paksa ini pun semakin mengalami penderitaan. Mereka diharuskan bekerja dan sesekali mendapat hukuman cambuk. Selain itu, banyak perkelahian yang terjadi antar buruh karena mereka harus berebut uang, makanan dan rokok. Tak heran bila tambang ini merenggut banyak korban jiwa. Konon, kejadian seperti ini sangat biasa disaksikan oleh mandor dan mereka pun tak ambil pusing asalkan produksi selalu mencukupi.

Tak cukup sampai disitu, saat Loebang Mbah Soero direnovasi, banyak tengkorak-tengkorak yang ditemukan di dalam tanah. Diduga jenazah para buruh ini sengaja ditimbun disana.

Adalah Mbah Soerono – mandor berdarah Jawa yang diperintahkan oleh Belanda untuk menjaga tambang tersebut. Mbah Soero sangat disegani karena memiliki ilmu kebatinan. Meski begitu, ia sangat taat beribadah dan perilakunya pun santun.

Menjelajahi Loebang Mbah Soero

Bagi Anda yang penasaran akan gua tambang ini, Anda dapat memasuki Loebang Mbah Soero dengan membayar Rp. 10.000,- saja untuk tiket masuk. Anda diharuskan memakai safety kit seperti sepatu boot, helm, dan rompi. Korek gas sangat dilarang untuk dibawa masuk ke dalam karena bisa memicu ledakan.

Sesaat Anda masuk dari pintu utama, udara lembab langsung terasa. Anda akan terbawa dengan suasana yang kelam dan sedikit gelap. Bayangkan, ada berapa banyak buruh kasar yang dipaksa untuk menggali tambang itu? Dan berapa pula yang mati akibat kekejian penjajah?

Pada tahun 1920, tambang ini sempat ditutup karena terjadi perembesan air serta gas metana yang meningkat dan cukup membahayakan.  Di tahun 2007, tambang ini berhasil direnovasi dan dijadikan objek wisata di Sawahlunto. Lubang yang awalnya dinamai Soegar ini pun berganti menjadi Mbah Soero karena dianggap sebagai tokoh inspirasi masyarakat Sawahlunto.

Info Box

Tak jauh dari Loebang Mbah Soero, terdapat Info Box – sebuah galeri tambang batubara yang menjadi pusat informasi seputar pertambangan di Sawahlunto. Dulunya, kawasan ini adalah lahan penumpukan batubara hasil dari galian Loebang Mbah Soero. Para buruh pun tinggal di tempat ini dan menjadikannya sebagai tempat bermain judi. Mereka pun menghamburkan upah hasil bekerja untuk menikmati hiburan yang ada di daerah ini.

Loebang Mbah Soero dibuka setiap hari mulai dari jam 09.00 hingga 17.30

**(Featured images by vickybatamh.wordpress.com)

Menelusuri Sejarah Proklamator di Museum Bung Hatta

Menelusuri Sejarah Proklamator di Museum Bung Hatta

Kemerdekaan Indonesia tentu tak lepas dari sosok Mohammad Hatta. Pria yang terlahir dengan nama Mohammad Athar ini adalah Wakil Presiden pertama Indonesia yang memiliki peranan penting pada kemerdekaan negara ini. Tak heran kalau Hatta yang mundur dari jabatan Wapres di tahun 1956 ini adalah salah satu Proklamator yang kisah hidupnya jadi inspirasi. Tak heran jika rumah masa kecilnya di Bukittinggi, dijadikan Museum Bung Hatta.

Hatta yang meninggal di usia 77 tahun ini memang dilahirkan tahun 1902 di Fort de Kock, kota yang akhirnya berubah jadi Bukittinggi. Sebagai pemuda Minang, Hatta menghabiskan masa kecilnya di sebuah rumah sederhana yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta no 37, Bukittinggi hingga berusia 11 tahun dan akhirnya menjadi Museum Bung Hatta. Sumbangsihnya yang besar pada sejarah bangsa Indonesia memang membuat Hatta begitu dikagumi dan membanggakan publik Sumatera Barat.

Diketahui jika Hatta kecil tinggal di rumah kelahirannya inibersama ibu, kakek, nenek dan pamannya. Lantaran terletak di pusat kota Bukittinggi, keberadaan Museum Bung Hatta ini sangat mudah untuk ditemukan. Sekilas melihatnya, bangunan rumah dua lantai ini tampak cukup asri yang sebagian besar terbuat dari bilah-bilah papan kayu. Bahkan ada beberapa dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu sehingga seolah menelusuri lorong sejarah ke masa lalu.

Museum Bung Hatta, Dibangun Ulang Untuk Sang Proklamator

Dari informasi yang ada, rumah masa kecil Bung Hatta ini didirikan sekitar tahun 1860-an. Struktur kayu yang ada digunakan untuk bangunan utama, pavilion, lumbung padi, dapur, kandang kuda, hingga kolam ikan. Untuk bagian utama rumah, berfungsi menerima tamu, ruang makan keluarga dan kamar ibu, paman serta kakek Bung Hatta. Pavilion adalah kamar tidur Hatta kecil. Dengan bangunan asli sudah runtuh di tahun 1960-an, Yayasan Pendidikan Bung Hatta pun membangun ulang menjadi Museum Bung Hatta.

Pembangunan ulang rumah ini dimulai pada 15 Januari 1995 dan diresmikan pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta sekaligus 50 tahun Indonesia Merdeka. Museum Bung Hatta dibangun sangat mirip dengan bentuk rumah asli sesuai dengan berbagai dokumentasi karena Sang Proklamator telah meninggal 15 tahun sebelum bangunan ini diresmikan.

Semakin menambah kesan sejarah, sebagian besar perabotan yang ada di rumah adalah asli merupakan peninggalan masa kecil Bung Hatta yang didapat dari keluarga dan kerabat. Dengan tata letak perabotan yang masih dipertahankan seperti dulu, saat berkunjung ke Museum Bung Hatta memang seolah berada di masa lalu. Bahkan anda bisa membayangkan Hatta kecil tidur di ranjang atau berada di dapur dan berlarian sepanjang rumah.

Mayoritas perabotan kayu di dalam Museum Bung Hatta terbuat dari kayu surian, sejenis kayu jati di Jawa. Hanya bagian tikar di dalam bangunan yang sudah diganti baru kendati jenis dan bentuknya masih mirip dengan aslinya. Anda juga akan menemukan sumur lama yang sengaja ditutup dengan papan. Di mana sumur ini dulu berada di belakang rumah, di dekat dapur. Selain ruangan-ruangan dan perabotan masa lalu, anda juga bisa menemukan Bugi atau sejenis bendi (delman) di museum ini. Bugi yang ada di bagian belakang rumah ini dulu sering dipakai Hatta kecil untuk sekolah. Kalau tidak naik Bugi, pria yang juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia ini memilih naik sepeda.

**(Images from minangtourism.com)